Jasa Besar Raden Aria Wangsakara - Sejarah Tangerang Bagian 4
Jasa Besar Raden Aria Wangsakara - Sejarah Tangerang Bagian 4 |
Jasa besar Raden Aria Wangsakara - Sejarah Tangerang Bagian 4. Raden Aria Wangsakara diperkirakan lahir pada tahun 1024 H atau 1615 M dan meninggal pada tanggal 2 Syaban tahun 1092 H atau 1681 M pada usia 68 tahun dalam hitungan hijriyah atau usia 66 tahun dalam hitungan masehi.
Ayahnya Raden Aria Wangsakara adalah Pangeran Lemah Beurem alias Wiraraja I, putera Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya. Ibunya bernama Dewi Cipta/Nyimas Cipta anak Rd. Kidang Palakaran putera Prabu Pucuk Umun Banten.
Dalam diri Rd. Aria Wangsakara mengalir darah dua Raja Sunda, Sumedang dan Banten Girang. Dari kedua kakeknya yang sama-sama raja tersebut mengalir darah Auliya dari Wiraraja I (Ali) bin Prabu Geusan Ulun (Ja’far) bin Pangeran Santri (Soleh) bin Pangeran Pamalekaran (Muhamad) bin Pangeran Panjunan (Abdurahman) bin Syekh Datuk Kahfi….dst, hingga ke Rosulullah. Sedangkan dari Prabu Pucuk Umun mengalir darah Prabu Siliwangi.
Jasa Aria Wangsakara bersama Aria Jaya Santika bagi Keshulthanan tentu saja sangat besar. Dalam Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu agama kala itu, keduanya diutus oleh Ratu Ing Banten untuk mendalami Kitab Insan Kamil (Markum, Wujudiyah dan Muntahi), Ilmu Tasawuf yang kemudian berkembang pesat di Banten. Bersama Lebe Panji, mereka berangkat ke Mekah pada tahun 1633/34 dan baru kembali pada tahun 1638.
Kepulangan Aria Wangsakara dan Aria Jaya Santika menjadi moment sangat penting bagi Keshulthanan Banten karena 3 hal yaitu :
Keilmuan Tasawuf yang kemudian berkembang di Banten dan Nusantara.
Keilmuan Seni Kaligrafi dan Seni Menulis Kitab serta menyalin Al-Quran yang sekarang diwarisi keturunannya di Lengkong secara turun-temurun dan terkenal hingga ditingkat dunia.
Sebagai Duta Keshulthanan Banten, keduanya sukses membawa gelar Shulthan dari Syarief Mekah bagi Ratu Ing Banten, Raja Mataram dan Raja Makasar. Sejak itu Ratu Ing Banten Abul Mafakhir berubah sebutannya menjadi Shulthan Abul Mafakhir Abdul Qodir termasuk ayah dan kakeknya yang sudah almarhum juga digelari Shulthan menjadi Shulthan Maulana Yusuf dan Shulthan Maulana Hasanudin, begitu pula Raja Mataram dan Raja Makasar, mereka kemudian menggunakan gelar Shulthan.
1651 Shulthan Abul Mafakhir wafat kemudian digantikan oleh Shulthan Ageng Tirtayasa. Karena ketinggian ilmunya, Aria Wangsakara diangkat Shulthan menjadi Imam besar Keshultanan Banten dengan sebutan Imam Haji Wangsaraja.
1652 atas perjanjian dengan Mataram, VOC datang dan mendirikan benteng di sisi timur Cisadane berhadapan dengan Kekuasaan Banten yang dikawal pasukan Tangerang dibawah Penguasa Tanah Parahiyang, Aria Wangsakara, di sisi barat. Inilah awal konfrontasi para Aria Tanah Parahiyang/Tangerang sebagai pertahanan paling depan Keshultanan Banten menghadapi VOC.
1654 perang hebat terjadi. Para ksatria Parahiyang/Tangerang dipimpin Aria Yudhanegara dan Aria Raksanegara, dua putera Aria Wangsakara serta para ksatria lainnya, memaksa VOC perang selama 7 bulan yang menghancurkan fisik dan mental hingga memaksa VOC meminta gencatan senjata pada Aria Wangsakara.
Kemenangan ini diabadikan Aria Wangsakara dengan membangun Tugu Tetengger setinggi 9 meter sekitar 100 meter di pinggir barat sungai Cisadane yang diresmikan oleh Pangeran Sugiri, putera Shulthan Ageng Tirtayasa, pada tanggal 5 Safar tahun Wawu bertepatan dengan tanggal 12 Desember 1654. Karena peristiwa ini Aria Wangsakara kemudian diberi gelar “Aria Tangger-Nanggeran” atau Aria Tanggeran I.
Posting Komentar untuk "Jasa Besar Raden Aria Wangsakara - Sejarah Tangerang Bagian 4"