Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jatidiri Urang Tangerang - Sejarah Tangerang

Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
Asal-usul nama tangerang

Sekapur Sirih
Assalaamu’alaikum Warahmataullaahi Wabarakatuh.
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT beserta Sholawat kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW atas karunia tak terhingga untuk kita semua.

Dengan mengucap Alhamdulillah saya persembahkan untuk handai taulan semua, dulur-dulur sadarah sakaturunan nu saluhureun tur sahandapeun, nu sepuh sareng nu anom, serta keturunan kita yang akan datang, sebuah tulisan tentang sejarah dan silsilah leluhur kita semua.

Setelah jerih payah selama bertahun-tahun menggali sejarah Tangerang dan mengungkap berbagai manuskrip yang tersembunyi hingga ratusan tahun, sehingga cerita tentang silsilah dan asal-usul kita seakan simpang siur tak berkecocokan satu dengan yang lain, maka tulisan ini insya Allah bisa dijadikan rujukan bagi siapa saja yang ingin mengetahui sejarah diri dan leluhurnya, meskipun tentu saja masih jauh dari sempurna.

Tulisan yang saya beri judul “JATIDIRI URANG : Asal-usul urang Tangerang” berisi tentang silsilah dari Rd. Aria Wangsakara dan Prabu Geusan Ulun (Angkawijaya) raja Sumedang Larang dan seterusnya. Selain itu tulisan ini juga berisi beberapa illustrasi serta tentu saja silsilah garis keturunan leluhur sampai generasi kakek atau buyut kita saja, karena sampai disitu rasanya cukup bagi orang Tangerang untuk bisa langsung menelusuri asal garis keturunan dirinya.

Selebihnya penulis berharap agar tulisan ini benar-benar bermanfaat terutama bagi tersambungnya kembali dengan lebih mesra tali silaturahmi, persaudaraan dan hubungan kekeluargaan kita antara warga Tangerang dan seluruh keturunannya seperti mesranya orang-orang tua kita dulu. Semoga buku kecil ini bisa menggugah generasi muda untuk mencintai sejarah leluhurnya dan mencintai saudara-saudaranya.

Setelah mengetahui darimana kita berasal, janganlah sombong dan takabur! Apalagi berbangga-bangga diri, ingatlah mereka yang tidak diketahui atau tak jelas silsilahnya, bisa jadi memiliki hubungan darah amat dekat dengan kita hanya saja belum diketahui. Karena hampir bisa dipastikan semua orang Tangerang adalah saudara sebab awalnya masyarakat hanya dari Para Aria yang sedarah saling bersaudara. Semoga Allah meridloi, merahmati dan memudahkan kita semua.

Penulis
H. Ali Taba, M.Pd

BAG. I
Asal Kata Nama Tangerang
Asal katanya adalah : Tetengger (tanda/batas/ciri : yang dimaksud adalah ciri/tanda/Batas Wilayah Kerajaan Sunda (Pajajaran) paling selatan atau paling ‘kaler’.

Yang dijadikan tetengger atau batas wilayah kala itu adalah sebuah pelabuhan di ujung selatan sungai Ciguide/Cigede atau Cisadane sekarang, pelabuhan tersebut salah satu pelabuhan terbesar kala itu, tempat kapal-kapal dari berbagai kerajaan di Nusantara bersandar untuk masuk ke Kerajaan Sunda melalui muara sungai Cisadane.

Karena menjadi ciri atau batas atau tanda, maka pelabuhan tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Pelabuhan Tanggeran (artinya: Pelabuhan yang menjadi tanda/ciri/batas). Oleh orang Portugis Tanggeran ditulis dengan kata Tamgaram, sedangkan Kerajaan Sunda ditulisnya dengan sebutan kerajaan Cumda. (Tome Pires, The Suma Oriental of Tome Pires, 1512-1515, menulis tentang Kerajaan Cumda (Sunda), Calapa (Sunda Kalapa), Bantam (Banten) dan Tamgaram (Tangerang).

Kata Tanggeran (ujung N) berubah pelafalannya menjadi Tanggerang (ujung NG) karena ketika VOC berkuasa kota Tangerang ditinggali oleh banyak orang-orang Makasar yang disewa VOC sebagai tentara bayaran dan banyak tinggal di benteng kota Tangerang, mereka tak bisa menyebut huruf N diujung kata, maka Tanggeran(N) berubah menjadi Tanggerang (NG).

Sampai sekitar awal tahun 1980’an Tangerang semula ditulis dengan 2 huruf G yaitu Tanggerang. Entah karena apa, sejak kira-kira tahun 1983-an Ketika Tangerang dipimpin Bupati Tadjus Sobirin kata Tanggerang kemudian berubah menjadi Tangerang dengan 1 huruf G (sepertinya soal pelafalan yang lebih praktis menjadi alasan). 

Kalau ada sekelompok orang Cina Benteng menyebut asal-usul kata Tangerang itu berasal dari bahasa Cina yaitu : Tengleng atau Tenglang atau Tangleng, ah…tentu saja itu sangat terlalu memaksakan, tidak tepat dan mengada-ada! Karena kultur manusia dimanapun selalu merubah sebuah nama dari pelafalan yang sulit ke yang lebih mudah seperti misalnya kata Batavia menjadi Betawi, kata Financial di Glodok menjadi Pinangsia, dll. Begitu pula kata Tanggerang justru menjadi sangat mungkin bergeser jadi Tenglang oleh orang Cina yang sulit melafalkan huruf "R"...tak mungkin sebaliknya. 

Jadi kata Tanggerang telah ada sejak Kerajaan Sunda 932M dan lebih tegas dimasa Pajajaran berdiri tahun 1030M dan menjadikan pelabuhan di utara (muara Ciguide/Cisdane) sebagai batas wilayah atau Tanggeran. Itu  jauh sebelum Cina Benteng masuk dan tinggal di dalamnya....

Ketika manuskrip-manuskrip tua belum ditemukan asal kata Tanggerang berdasarkan cerita di masyarakat juga dikatakan berasal dari kata Tetengger Perang. Hal ini mungkin karena ketika konfrontasi Keshulthanan Banten dengan VOC Tangerang adalah pusat semua peperangan itu terjadi, begitu pula ketika pecah perang revolusi Tangerang juga kerap menjadi medan pertempuran. 

Sebutan lain bagi Tangerang, meskipun sekarang sudah tidak ada lagi yang menyebutnya, adalah ‘Kota Benteng’. Sampai awal tahun ‘90an beberapa orang tua masih menyebutnya dengan sebutan ‘Benteng’. Sebutan tersebut tentu saja karena kala itu di pusat kota Tangerang memang telah dibangun benteng pertahanan oleh VOC di sisi timur Cisadane, sayangnya benteng itu tak ditemukan lagi, mungkin runtuh ke sungai dan tertimbun lumpur. 

Jadi sebutan Tanggeran atau Tanggerang semula hanya untuk menyebut kawasan pelabuhan saja, sedangkan wilayah Tangerang raya yang luasnya seperti kita kenal saat ini (mencakup Tangsel dan Kota Tangerang), dulunya disebut dengan nama tanah Parahiyang. Tanah amat luas yang ketika itu dimiliki oleh Prabu Pucuk Umun Banten yang memimpin di Banten Girang.

Tanah Parahiyang berubah menjadi Tanggeran (Tanggerang) ketika Rd. Aria Wangsakara (cucu Prabu Pucuk Umun Banten) dilantik oleh Shulthan Banten menjadi Aria Tanggeran I pada 12 Desember 1654 dengan wilayah kekuasaan meliputi seluruh Tanah Parahiyang milik kakeknya Prabu Pucuk Umun Banten. Sejak itu sebutan Tangerang tidak lagi untuk pelabuhan di muara Cisadane, tetapi melekat sebutannya pada wilayah kekuasaan Rd. Aria Wangsakara yang sekarang kita kenal sebagai Tangerang raya.

BAG. II

Tangerang Setelah Pajajaran Bubar

Kerajaan Sunda Pajajaran benar-benar runtuh atau bubar tepatnya pada tahun 1579 ketika Islam sudah tersebar ke hampir seluruh Jawa. Tetapi Tanah Parahiyang (Tanggerang) sudah tidak menjadi milik Pajajaran lagi bahkan sejak 1526 ketika Prabu Pucuk Umun Banten Rd. Surajaya yang menjadi penguasa Kerajaan Banten Girang dikalahkan oleh sepupunya sendiri yaitu Maulana Hasanuddin/Pangeran Sabakingking (putera Nyi Kawunganten & Syarief Hidayatullah).

Hebatnya, semua penguasa Kerajaan Islam Banten sejak Maulana Hasanudin hingga cucu-cucunya yaitu Shulthan Abul Mafachir, tak ada satupun yang mengganggu tanah milik Prabu Pucuk Umun Banten yang amat luas mulai Sungai Cidurian di sebelah barat hingga Sungai Cipamugas atau Cigede atau Cisadane di timur. Mungkin inilah bentuk penghormatan dari semua trah Kerajaan Islam Banten terhadap Prabu Pucuk Umun yang tak lain adalah masih saudara sepupu, sama-sama keturunan Prabu Siliwangi dari para kakeknya.

Tanah tersebut hanya akan diberikan pada cucu-cucu Prabu Pucuk Umun yang diyakini kelak pasti akan datang.

BAG. III

Riwayat Rd. Aria Wangsakara & Tigaraksa

Hampir 40 tahun sejak Pajajaran bubar. Di timur Kerajaan Mataram telah menjadi kerajaan besar menggantikan Majapahit dan berambisi menguasai seluruh Jawa dan Sunda serta Banten. Wilayah yang belum dikuasainya tinggal Kerajaan Sunda Sumedang, Cirebon dan Banten. Tahun 1610 Raja Sumedang Prabu Geusan Ulun (Angka Wijaya) wafat dan digantikan puteranya dari istri bernama Ratu Harisbaya yaitu Aria Soeriadiwangsa I (Rangga Gempol/Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata). 

Menyadari Kerajaan Sumedang telah lemah akibat kerajaan-kerajaan bawahannya di tanah Sunda banyak melepaskan diri, Aria Soeriadiwangsa memilih tunduk pada Mataram. Sayangnya, setelah berhasil menjalankan tugas dari Mataram menundukan Madura dengan cara kekeluargaan, Rangga Gempol alias Soeriadiwangsa I dikabarkan meninggal di Mataram tanpa penjelasan. Sementara ancaman hukuman dari Mataram bagi semua pemuda Sumedang yang menolak perintah dan menentang politik Mataram semakin keras.

Keadaan ini membakar hati para Pangeran Kerajaan Sumedang yaitu:

  1. Rd. Kartajiwa alias Soeriadiwangsa II  (Putera Soeriadiwangsa I dengan Ratu Widari/cucu Maulana Yusuf Banten/cicit Maulana Hasanudin Banten).
  2. Rd. Aria Wangsakara alias Wiraraja II (Putera Pangeran Lemah Beurem alias Wiraraja I dengan Dewi Cipta/Nyimas Cipta anak Rd. Kidang Palakaran putera Prabu Pucuk Umun Banten).
  3. Rd. Aria Santika alias Aria Jayasantika alias Demang Tisnajaya (Putera Nyimas Nurteja dengan ayah Jaka Lelana cucu dari Prabu Pucuk Umun Banten).

Ketika pada tahun 1628 Mataram memerintahkan kepada pasukan Sumedang agar bergabung bersama pasukan Mataram melakukan penyerbuan ke Pelabuhan Sunda Kelapa (Batavia) dalam misi penyerangan ke Banten yang dipimpin Dipati Ukur, ketiga Pangeran bersama rombongan memilih bergabung dengan Banten dan langsung bergerak menuju Banten. Kedatangan mereka diterima baik oleh Raja Banten kala itu Pangeran Ratu Ing Banten Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qodir (kelak disebut Shulthan Abul Mafakhir) yang tak lain adalah paman mereka sendiri dari garis nenek.

Ketiga Pangeran dari Sumedang bersama rombongannya inilah yang menjadi cikal bakal orang Tangerang, anak cucu keturunannya hingga saat ini. Setelah dilantik menjadi Wawakil Kebantenan Ing Parahiyang oleh Keshulthanan Banten pada Rabu Pon tanggal 28 Rabiul Awal 1042 H atau tanggal 13 Oktober 1632 di Kadu Agung Tigaraksa (sekarang), ketiganya menurunkan keturunan-keturunan yang kemudian saling menikah, bercampur bersilangan dengan sesama keturunan Sunda dan keturunan Keshulthanan Banten. Hingga saat ini di hampir seluruh kita orang Tangerang mengalir darah Sunda dan darah Keshulthanan Banten serta kerajaan lainnya seperti Madura, Demak dan juga Mataram, karena nenek ketiga pangeran yaitu Ratu Harisbaya berdarah bangsawan Madura dan kerajaan lainnya. Insya Allah.

Peran ketiganya sangat besar dalam mengelola wilayah hingga menjadikan Tangerang sebagai garis terdepan menjaga (meraksa/ngaraksa) Keshulthanan Banten dari serbuan VOC dan Hindia Belanda, sehingga ketiganya (Aria Suryadiwangsa, Aria Wangsakara dan Aria Jaya Santika) kemudian dijuluki sebagai Tigaraksa (Tiga Peraksa/penjaga/pengawal). Gelar Tigaraksa kemudian disandangkan lagi pada era kedua yaitu Aria Wangsakara dan  puteranya yaitu Aria Yudhanegara dan Aria Jaya Santika (Tigaraksa fase 2).

Yang digelari Tiga Raksa itu pertamakali:

Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
Raden Aria Suriadiwangsa II
 
Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
  Raden Aria Wangsakara

Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
Raden Aria Jaya Santika


BAG. IV

Jasa besar Rd. Aria Wangsakara

Rd. Aria Wangsakara diperkirakan lahir pada tahun 1024 H atau 1615 M dan meninggal pada tanggal 2 Syaban tahun 1092 H atau 1681 M pada usia 68 tahun dalam hitungan hijriyah atau usia 66 tahun dalam hitungan masehi.   

Ayahnya Rd. Aria Wangsakara adalah Pangeran Lemah Beurem alias Wiraraja I, putera Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya. Ibunya bernama Dewi Cipta/Nyimas Cipta anak Rd. Kidang Palakaran putera Prabu Pucuk Umun Banten. 

Dalam diri Rd. Aria Wangsakara mengalir darah dua Raja Sunda, Sumedang dan Banten Girang. Dari kedua kakeknya yang sama-sama raja tersebut mengalir darah Auliya dari Wiraraja I (Ali) bin Prabu Geusan Ulun (Ja’far) bin Pangeran Santri (Soleh) bin Pangeran Pamalekaran (Muhamad) bin Pangeran Panjunan (Abdurahman) bin Syekh Datuk Kahfi….dst, hingga ke Rosulullah. Sedangkan dari Prabu Pucuk Umun mengalir darah Prabu Siliwangi. 

Jasa Aria Wangsakara bersama Aria Jaya Santika bagi Keshulthanan tentu saja sangat besar. Dalam Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu agama kala itu, keduanya diutus oleh Ratu Ing Banten untuk mendalami Kitab Insan Kamil (Markum, Wujudiyah dan Muntahi), Ilmu Tasawuf yang kemudian berkembang pesat di Banten. Bersama Lebe Panji, mereka berangkat ke Mekah pada tahun 1633/34 dan baru kembali pada tahun 1638.

Kepulangan Aria Wangsakara dan Aria Jaya Santika menjadi moment sangat penting bagi Keshulthanan Banten karena 3 hal yaitu :

  1. Keilmuan Tasawuf yang kemudian berkembang di Banten dan Nusantara.
  2. Keilmuan Seni Kaligrafi dan Seni Menulis Kitab serta menyalin Al-Quran yang sekarang diwarisi keturunannya di Lengkong secara turun-temurun dan terkenal hingga ditingkat dunia.
  3. Sebagai Duta Keshulthanan Banten, keduanya sukses membawa gelar Shulthan dari Syarief Mekah bagi Ratu Ing Banten, Raja Mataram dan Raja Makasar. Sejak itu Ratu Ing Banten Abul Mafakhir berubah sebutannya menjadi Shulthan Abul Mafakhir Abdul Qodir termasuk ayah dan kakeknya yang sudah almarhum juga digelari Shulthan menjadi Shulthan Maulana Yusuf dan Shulthan Maulana Hasanudin, begitu pula Raja Mataram dan Raja Makasar, mereka kemudian menggunakan gelar Shulthan.

1651 Shulthan Abul Mafakhir wafat kemudian digantikan oleh Shulthan Ageng Tirtayasa. Karena ketinggian ilmunya, Aria Wangsakara diangkat Shulthan menjadi Imam besar Keshultanan Banten dengan sebutan Imam Haji Wangsaraja.

1652 atas perjanjian dengan Mataram, VOC datang dan mendirikan benteng di sisi timur Cisadane berhadapan dengan Kekuasaan Banten yang dikawal pasukan Tangerang dibawah Penguasa Tanah Parahiyang, Aria Wangsakara, di sisi barat. Inilah awal konfrontasi para Aria Tanah Parahiyang/Tangerang sebagai pertahanan paling depan Keshultanan Banten menghadapi VOC. 

1654 perang hebat terjadi. Para ksatria Parahiyang/Tangerang dipimpin Aria Yudhanegara dan Aria Raksanegara, dua putera Aria Wangsakara serta para ksatria lainnya, memaksa VOC perang selama 7 bulan yang menghancurkan fisik dan mental hingga memaksa VOC meminta gencatan senjata pada Aria Wangsakara. 

Kemenangan ini diabadikan Aria Wangsakara dengan membangun Tugu Tetengger setinggi 9 meter sekitar 100 meter di pinggir barat sungai Cisadane yang diresmikan oleh Pangeran Sugiri, putera Shulthan Ageng Tirtayasa, pada tanggal 5 Safar tahun Wawu bertepatan dengan tanggal 12 Desember 1654. Karena peristiwa ini Aria Wangsakara kemudian diberi gelar “Aria Tangger-Nanggeran” atau Aria Tanggeran I.

Pertempuran Banten dan VOC di Tangerang & Pendirian Tunggu Tetengger

Mei 1658-10 Juli 1659 pertempuran tanpa henti kembali terjadi. Pada perang kali ini Aria Wangsakara yang mendampingi Raden Senopati Ingalaga menggunakan taktik perang Manuk Dadali yang membuat VOC kembali mengalami kehancuran besar dan terpaksa meminta kembali gencatan senjata. Usai perang Aria Wangsakara mengumpulkan para yatim korban perang dan mendidik mereka menjadi para ksatria muda yang cinta tanah air.

Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
Perang Dadali, Tangerang 1658-1659

1666, Aria Wangsakara menyerahkan Keariaan pada puteranya Aria Yudanegara yang bersama adiknya Aria Raksanegara serta para Ksatria Parahiyang lainnya terus melanjutkan fungsinya sebagai garda terdepan pertahanan Banten melawan VOC.


Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
  Raden Aria Yudanegara

Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
Raden Aria Raksanagara
Tigaraksa II

1678, seiring melemahnya Mataram oleh pemberontakan Trunojoyo yang didukung Banten, memaksa Mataram bekerjasama dengan VOC. Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram terpaksa juga bersekutu dengan VOC. Keadaan ini memaksa munculnya konflik antara Banten dan Sumedang yang kala itu dipimpin oleh Rangga Gempol III. 

Atas restu Shulthan, Aria Wangsakara kembali turun tangan bersama kedua puteranya Aria Yudanegara dan Aria Raksanegara, untuk menyelamatkan Sumedang Larang dari cengkraman VOC. Dengan pesan khusus bahwa kedatangan pasukan Banten dan Tangerang ke Sumedang bukan untuk saling membunuh melainkan membawa misi damai pembebasan dari penjajah asing, Aria Wangsakara mengutus Aria Raksanegara bersama pasukannya ke Sumedang. 

Misi berhasil, Hari Senin Manis bulan Puasa 1089 H atau bertepatan 14 November 1678, tepat sehari sebelum Lebaran, Sumedang kembali dikuasai dengan tanpa peperangan sama sekali karena Raden Rangga Gempol III memilih melarikan diri ke Indramayu. Keesokan pagi di Masjid Jami Sumedang dilaksanakan sholat Ied 4 mazhab.

12 Mulud 1090 H atau 23 April 1679, dihadiri utusan dari Keshulthanan Banten dua cicit Prabu Geusan Ulun dari dua istrinya kembali bertemu dalam ziarah bersama. Raden Aria Raksanegara cicit dari Ratu Harisbaya dan Raden Rangga Gempol III cicit dari Ratu Nyai Gedeng Waru saling berjanji menghilangkan permusuhan dan untuk saling setia. Atas permintaan Aria Wangsakara pada Shulthan Banten, Raden Rangga Gempol III, sepupunya,  dikembalikan pada jabatannya sebagai Bupati Sumedang dengan syarat tidak bersekutu lagi dengan VOC.

BAG. V

Banten Runtuh (VOC telah menguasai Mataram). 

Selama Raden Aria Wangsakara masih hidup upaya VOC menguasai Banten tak pernah berhasil, karena Aria Wangsakara yang berhasil mempersatukan kembali para Bupati Sunda dengan Banten terus melakukan penghadangan dengan ketat di garis pertahanan Banten paling depan di Tangerang/Parahiyang. 

Tetapi memasuki tahun 1680, sebelum Aria Wangsakara wafat, ketika Shulthan Ageng Tirtayasa tengah fokus pada pengembangan pertahanannya di Tirtayasa, VOC menyelusup ke jantung Keshulthanan dan berhasil menghasut putera Shulthan yang bernama Abdul Kohar alias Shulthan Haji untuk merebut kekuasaan pada ayahnya. 

Isu yang dihembuskan VOC adalah bahwa anak yang akan diangkat menjadi Shulthan kelak adalah Pangeran Sugiri yang beribu Raden Ayu Urianegara dari Tangerang dan bukan Abdul Kohar yang beribu Ratu Ayu Gede. Isu tersebut memicu Abdul Kohar alias Shulthan Haji untuk melakukan kudeta, tetapi berhasil digagalkan Shulthan Ageng Tirtayasa yang segera bergerak dari Tirtayasa menyerbu Surosowan. Sulthan Haji lolos diselamatkan VOC.

Kekalahan inilah yang menjerat Abdul Kohar alias Shulthan Haji untuk tunduk pada VOC dan terpaksa menandatangani perjanjian yang isinya memberi hak penuh pada VOC untuk menguasai ekonomi dan mengerahkan kekuatan pasukan di Banten, dengan janji VOC akan memberikan bantuan penuh berupa pasukan besar untuk mengalahkan Sulthan Ageng Tirtayasa.  

Malam Jumat 2 Syaban tahun 1092 H bertepatan dengan tanggal 14 Agustus 1681 M, Raden Aria Wangsakara wafat dengan tenang di usia 66 tahun. jasadnya dikebumikan dengan khidmat di sebuah bukit di Lengkong, Pagedangan, Tangerang. 

Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
Iring-iringan pemakaman Raden Aria Wangsakara

Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
Makam Aria Wangsakara di Lengkong (sekarang)

Wafatnya Aria Wangsakara adalah moment paling ditunggu VOC. Upaya adu domba di dalam keshulthanan terus dilakukan. Pasukan Banten kini terpecah dua antara yang setia dengan Shulthan Ageng yang kini lebih sering berada di Tirtayasa dengan yang mengikuti Pangeran Abdul Kohar alias Shulthan Haji. Pasukan Banten terfokus pada peperangan di dalam. Keadaan ini memaksa pasukan Tangerang di garis pertahanan di Cisadane berjuang sendirian melawan pasukan VOC yang terus merangsek.

1682, pertahanan terakhir Banten di Tangerang tinggal pos terakhir di Sampora yang akhirnya runtuh dibombardir VOC. Raden Wangsadirja yang memimpin pertahanan akhirnya gugur bersama ratusan pasukannya. Jebolnya benteng pertahanan ini membuat VOC leluasa memasuki Banten dan menyerbu Tirtayasa yang dipertahankan sampai mati oleh dua Ksatria, Pangeran Ingayuda Singararas putera Shulthan Ageng Tirtayasa dan Raden Aria Wiranegara III alias Senapati Ciliwulung putera Raden Aria Wangsakara dari istri bernama Ratu Maemunah puteri Shulthan Ageng Tirtayasa. Kedua ksatria gugur syahid setelah berhasil meloloskan Shulthan Ageng Tirtayasa dan membakar habis keraton Tirtayasa dari penguasaan VOC.

Jatidiri Urang Tangerang, asal usul nama tangerang, sejarah kota tangerang pdf, slogan kota tangerang, ciri khas kota tangerang, julukan kota tangerang, ibu kota tangerang, apakah tangerang termasuk jakarta selatan, perbedaan kota tangerang masa lalu dan masa kini.
Raden Aria Wiranegara alias Syech Ciliwulung

Sejak itu Banten kehilangan kegemilangannya. Para Shulthan yang memimpin berikutnya tak lagi memiliki kekuasaan, dikendalikan oleh VOC karena terikat perjanjian yang ditandatangani Shulthan Haji. Masa kejayaan Banten berakhir hingga perlahan-lahan habis dan keratonnya diruntuhkan oleh Gubernur Jenderal Herman Wilhem Daendeles pada 1840.

Sejak itu Tangerang berjuang untuk dirinya sendiri. Meskipun Aria Wangsakara telah wafat, tetapi sikap anti penjajah dan perjuangannya tak pernah berhenti, terus menginspirasi dan dilanjutkan oleh keturunannya secara turun-temurun hingga di zaman Hindia Belanda, Zaman Revolusi sampai Indonesia merdeka. Hampir seluruh keturunanya adalah pejuang, Mujahhid, Ulama dan Auliya. Semoga Allah meridloi beliau dan seluruh keturunannya. Amiin.

Nama-nama lain Aria Wangsakara:

  1. Wiraraja II (di Sumedang)
  2. Hasan Al-Hasani (dikalangan dzuriah)
  3. Aria Wangsadikara (di Tangerang)
  4. Aria Wangsakara (di Tangerang)
  5. Ki Kenyep/Ki Lenyep (di Kresek)
  6. Ki Wangsaraja (di Keshulthanan Banten)
  7. Imam Haji Wangsaraja (di Keshulthanan Banten)
  8. Kang Imam (panggilan oleh Shulthan Ageng Tirtayasa)
  9. Ki Narantaka (di Madura)
  10. Ki Luluhur (di Lengkong)
  11. Aria Lengkong (di Lengkong)
  12. Aria Tanggeran I (di Tangerang) 


BAG. VI

Silsilah & Keturunan Aria Wangsakara di Tangerang

Silsilah Aria Wangsakara ke Rasulullah melalui Sayyidina Hasan RA:

  1. Rasulullah SAW
  2. Siti Fatimah Azaahra + Sayidina Ali RA
  3. Sayyidina Hasan Al-Mujtaba RA 
  4. Hasan Al-Mutsana
  5. Abdulloh Al-Kamil
  6. Musa Al-Juun
  7. Abdulloh At-Tsani
  8. Musa At-Tsani
  9. Dawud
  10. Muhammad
  11. Yahya Az-Zahid
  12. Abdulloh
  13. Abu Sholeh Musa Janki Dausat
  14. Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
  15. SHolih
  16. Ahmad
  17. Abdul Aziz
  18. Abdurrozak
  19. Abdul Jabbar
  20. Syuaib
  21. Abdul Qodir
  22. Junaid/Jungeb
  23. Abdul Qodir Kailani
  24. Syekh Datuk Isa
  25. Syekh Datuk Kahfi
  26. Abdurahman/Pangeran Panjunan
  27. Muhammad/Pangeran Pamelakaran
  28. Soleh/Pangeran Santri
  29. Ja’far/Prabu Geusan Ulun (Angkawijaya)
  30. Ali/Pangeran Wiraraja I
  31. Hasan/Aria Wangsakara/Wiraraja II

Leluhur Urang Tangerang ini juga tersambung ke Al-Hisaini melalui Ibunda Pangeran Panjunan/Abdurohman yaitu istri Syaikh Datuk Kahfi bernama Halimah binti Ali Nurul Alam bin Jumadil Kubro / Jamaluddin Akbar Al Husaini. Demikian pula dari jalur Syaikh Abdul Qodir Al Jailani yang juga tersambung pula ke Al Husaini.

Silsilah Aria Wangsakara ke Raja Sunda Sumedang:

  1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung 1472 M-1482 M)
  2. Prabu Tajimalela (Pendiri & Raja Sumedang Larang 1492 M- 1502 M)
  3. Prabu Gajah Agung/Atmabrata (Patih Pajajaran 1363 M- 1392 M)
  4. Prabu Pagulingan I/Sunan Pagulingan/Wirajaya
  5. Sunan Guling/Prabu Pagulingan II/ Mentalaya (Ratu Sumedang Larang 1502 M- 1512 M)
  6. Sunan Tuakan/Prabu Tuakan / Tirta Kusuma (Ratu Sumedang Larang 1512 M – 1522 M)
  7. Sintawati /Nyi Mas Ratu Patuakan /Istri Sunan Corendra atau Batara Saka Wayana
  8. Satyasih/Ratu Intan Dewata/Ratu Pucuk Umun/istri Pangeran Santri
  9. Prabu Geusan Ulun
  10. Wiraraja I
  11. Wiraraja II/Aria Wangsakara

Silsilah Aria Wangsakara ke Prabu Siliwangi

  1. Prabu Siliwangi
  2. Prabu Pucuk Umun Banten (garis Surosowan)
  3. Raden Kidang Palakaran
  4. Putri Dewi Cipta/Nyimas Cipta
  5. Wiraraja I
  6. Wiraraja II/Aria Wangsakara

Silsilah Anak-anak Keturunan Aria Wangsakara

Aria Wangsakara + Nyi Mas Nurmala binti Singaperbangsa (Karawang)

  1. Raden Yudanegara
  2. Raden Raksanegara

Aria Wangsakara + Tatu Maemunah bt Sulthan Ageng Tirtayasa

  1. Raden Wiranegara (Ciliwulung)

Aria Wangsakara + Nyi Ratu Zakiyah

  1. Nyi. R. Ratna Sukaesih
  2. Nyi. R. Wira Sukaesih
  3. Nyi. R. Sukaedah
  4. Nyi. R. Kara Supadmi

Silsilah Orang Tangerang ke Pajajaran

Prabu. Wangi / Prabu Lingga Buana Wisesa / Munding Kawati  (tewas di Bubat 1350 – 1357) + Dewi Lara Linsing bin Prabu Aria Kulon dan + Dewi Kirana Sari bin Ajiguna Linggawisesa 

Prabu Siliwangi 1 / Niskala Wastu Kancana 

Prabu Siliwangi 2 / Anggalarang / Dewa Niskala (Galuh/Kawali) + Siti Samboja / Dewi Rengganis (1371 – 1475)

  1. Prabu.. Siliwangi 3 Sri Baduga Maharaja / Pamanah rasa (1482 - 1521)
  2. Prabu.. Siliwangi 4 / Surawisesa (1521 - 1535) 
  3. Prabu.. Siliwangi 5 / Prabu Ratu Dewata (1535 - 1543) 
  4. Prabu.. Siliwangi 6 / Ratu Sakti (1543 - 1551)
  5. Prabu.. Siliwangi 7 / Nilakendra (1551 - 1567) / P. Seda 1567 M. (tokoh dalam Uga Wangsit Siliwangi yg meninggalkan kraton Pajajaran.. 
  6. Prabu Siliwangi 8 / Prabu Suryakencana / Pucuk Umun Pulosari Pandeglang / P. Seda 1579, berputri 
  7. Rt. Wulung Sari  + Adipati Kuripan I, Wirasutadilaga / Sanghyang Agung, berputra
  8. Adipati Kuripan II, Pangeran Mahajaya Dilaga / Tumenggung Utama, berputeri
  9. Rt Siti Urianegara +  Slt Ageng Tirtayasa berputera
  10. Pangeran Sugiri + NR Ratna Komala bin R Aria Yudhanegara bin R Aria Wangsakara, berputri
  11. N.R. Ungkang, berputra
  12. Raden Dalem Aria Kidang , berputra
  13. Raden Patih Amu + Rt Sari bin Pang. Asadullah bin Pang. Kholid bin Pang. Yoga/Ingayudadipura (Singalaras) bin Slt. Ageng Tirtayasa, berputri 
  14. Nyi Raden Aria Parung / Siti Khodijah + R Aria Sutadiwangsa (Demang Parung) bin R Aria Tanuwisanta, berputeri & berputera : Tersebar di Tangerang Raya

  Silsilah Orang Tangerang ke Sunan Parung & Prabu Siliwangi

  1. Prabu Siliwangi (III) / Sri Baduga Maharaja / Raden Pamanah Rasa + Nyimas Aci Putih bin Dampu Awang , berputra
  2. Rd Aria Seta/Prabu Mungdingsari Ageung berputra
  3. Prabu Mundingsari Leutik berputra
  4. Sunan Parung / Pucuk Umun Talaga (Majalengka) / Rangga Mantri, berputra 
  5. Lembu Gading berputra
  6. Sanghyang Mandura / Wiratanudilaga / wiratanupaksi / Tumenggung Jasinga, berputra 
  7. Adipati Kuripan I / Wirasutadilaga / Sanghyang Agung + R. Wulung Sari (putri P. Siliwangi 8 / P.Seda 1579 / Prabu Surya kencana), berputra
  8. Adipati Kuripan II Pangeran Mahajaya Dilaga / Tumenggung Utama, berputri
  9. Ratu Siti Urianegara +  Sultan Ageng Tirtayasa, berputra
  10. Pangeran Sugiri + NR Ratna Komala bin R Aria Yudhanegara bin R Aria Wangsakara, berputri
  11. N.R. Ungkang, berputra
  12. Raden Dalem Aria Kidang , berputra
  13. Raden Patih Amu + Rt Sari bin Pang. Asadullah bin Pang. Kholid bin Pang. Yoga/Ingayudadipura (Singalaras), berputri 
  14. Nyi Raden Aria Parung / Siti Khodijah + R Aria Sutadiwangsa (Demang Parung) bin R Aria Tanu Wisanta Berputri dan berputera :
  15. Nyi Mas Nur Alam + R  Nur Alam bin R Eleng Tanuwijaya dan 16. R. Kaderi Wangsadirja + Ny Mariyah : (Kelak anak dan cucuk keduanya saling menikah bersilangan hingga menurunkan warga Dukuh & Kp. Kalapa) 

Silsilah Orang Tangerang ke Banten-Cirebon-Pajajaran

  1. R Pamanah Rasa/Prabu Siliwangi + Subang larang
  2. Nyimas Rarasantang / Syarifah Mudaim
  3. Syech Syarif Hidayatullah
  4. Maulana Hasanudin
  5. Maulana Yusuf
  6. Maulana Muhammad Nasrudin
  7. Slt Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir
  8. Slt. Abul Ma’ali Ahmad
  9. Sultan Ageng Tirtayasa
  10. Pang. Sugiri+NR Ratna Komala Bin RA. Yudhanegara bin R. Aria Wangsakara
  11. Nyi R. Ungkang
  12. R. Dalem Aria Kidang
  13. R. Patih Amu+
  14. Ratu Sari
  15. Nyi Raden Aria Parung / Siti Khodijah + R Aria Sutadiwangsa (Demang Parung) bin R Aria Tanu Wisanta Berputri dan berputera : Tersebar di Tangerang Raya


Daftar Pustaka

Ali, Mufti. 2019 Aria Wangsakara Tangerang, Imam Keshulthanan Banten, Ulama-Pejuang Anti Kolonialisme (1615-1681).(Pandeglang: Pemerintah Kabupaten Tangerang bekerjasama dengan Yayasan Bhakti Banten)

Ali, Mufti dkk. 2015. Konsep ‘Manusia Tuhan’ Menurut Syaykh Abd al-Karim al-Jili dalam naskah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (1) Salinan Dari Banten 1893 M.(Serang: LP2M)

Ayatrohaedi. 2017. Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” 1680-1683 Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (jilid 4) Cirebon. Balai Adat Parahiyang 1812. 1978 “Paririmbon Kaariaan Parahiyang”.

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten.(Jakarta: Penerbit Djambatan)

Ekajati, S, Edi. 2004. Sejarah Kabupaten Tangerang.(Tangerang: Tim Pusat Studi Sunda Pemerintah Kabupaten Tangerang)(Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya)

Gani, Lutfi, Abdul. 2020. Ki Leluhur, Rekam Jejak Sejarah Raden Aria Wangsakara. (Yogyakarta: Deepublish Publisher)

Hafids, Hilman. 2007. Nyukcruk Galur Mapay Raratan Siliwangi.(Bogor: Balai Seni Sekar Pakuan)

Hauken, Adolf. 2000. Historical Sites of Jakarta.(Jakarta: Cipta Loka Caraka) Pemerintah Kabupaten Lebak. Sejarah Kabupaten Lebak

Pudjiastuti, Titik. 2015. Menyusuri Jejak KeShulthanan Banten.(Jakarta: Wedatama Widya Sastra)

Sumardjo, Jakob. 2015. Sunda, Pola Rasionalitas Budaya.(Bandung: Kelir)

Swantoro, P. 2002. Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Rumah Budaya TeMBI) 

W.M. Abdul Hadi. 2001 Kanz Makhfi’ atau Perbendaharaan Tersembunyi.

Posting Komentar untuk "Jatidiri Urang Tangerang - Sejarah Tangerang"